Jumat, 06 Maret 2015

Biografi Tokoh IPPNU



BIOGRAFI TOKOH IPNU IPPNU
---<( Hj. Umroh Mahfudzoh )>---

Hj. Umroh Mahfudzoh Dilahirkan 4 Februari 1936 di kota Gresik, Jawa Timur, Umroh mengawali pendidikan dasar di kota kelahirannya. Sempat berhenti sekolah hingga tahun 1946 karena clash II, Umroh melanjutkan ke Madrasah Ibtidaiyah NU di Boto Putih, Surabaya. Dilahirkan dari pasangan K.H. Wahib Wahab dan Hj. Siti Channah, Umroh tumbuh dan dewasa di lingkungan NU. Sebagai cucu pendiri NU, K.H. Abdul Wahab Chasbullah, masa kecil Umroh banyak dilalui di lingkungan pesantren, khususnya pada masa liburan yang banyak dihabiskan di Tambak Beras, Jombang, tempat kelahiran ayahnya. Sebagai anak sulung dari lima bersaudara, sejak kecil Umroh dididik untuk bisa hidup mandiri. Hasrat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang sekolah menengah sekaligus mewujudkan impian merantaunya terpenuhi ketika diterima sebagai siswa SGA Surakarta. Ketika partai-partai politik meluaskan sayapnya pada pertengahan 50-an, Umroh mulai menerjunkan diri sebagai Seksi Keputrian Pelajar Islam Indonesia (PII) -organisasi pelajar afiliasi partai Masyumi- ranting SGA Surakarta. Namun, sejak berdirinya NU sebagai partai politik sendiri tahun 1952, Umroh mulai berkenalan dengan organisasi-organisasi di lingkungan NU.

Sembari mengajar di Perguruan Tinggi Islam Cokro, Surakarta, Umroh yang nyantri di tempat Nyai Masyhud mulai menerjunkan diri sebagai wakil ketua Fatayat NU cabang Surakarta. Semangat Umroh yang menyala-nyala membawa pada kesadaran akan perlunya sebuah organisasi pelajar yang khusus menghimpun putra-putri NU. Berdirinya IPNU yang khusus menghimpun pelajar-pelajar putra pada awal tahun 1954 membuat keinginan Umroh untuk membuat organisasi serupa khusus untuk para pelajar putri semakin menggebu-gebu. Gagasannya dituangkan lewat diskusi intensif dengan para pelajar putri NU di Muallimat NU dan SGA Surakarta yang sama-sama nyantri di tempat Nyai Masyhud. Kegigihan Umroh memperjuangkan pendirian IPNU-Putri (kelak berubah menjadi IPPNU) membawanya duduk sebagai Ketua Dewan Harian (DH) IPPNU. DH IPPNU adalah organ yang bertindak sebagai inkubator pendirian sekaligus pelaksana harian organisasi IPPNU.

Aktivitas di IPPNU yang tidak begitu lama diisi dengan sosialisasi dan pembentukan cabang-cabang IPPNU, khususnya di Jawa. Umroh juga tampil sebagai juru kampanye partai NU pada pemilu 1955. Tidak genap setahun menjabat Ketua Dewan Harian, Umroh meninggalkan Surakarta untuk menikah dengan M. Tolchah Mansoer, Ketua Umum PP IPNU pertama. Meskipun menetap di Yogyakarta, Umroh tidak pernah melepaskan perhatiannya terhadap organisasi yang ikut dia lahirkan. Kedudukan Dewan Penasehat PP IPPNU yang dipegang hingga saat ini, membuatnya tidak pernah absen dalam setiap perhelatan nasional yang diselenggarakan IPPNU. Riwayat organisasi Umroh berlanjut pada tahun 1962 sebagai seksi Sosial PW Muslimat NU DIY. Kedudukan ini mengantarkan Umroh sebagai Ketua I Badan Musyawarah Wanita Islam Yogyakarta hingga tahun 1987. Kesibukan keluarga tidak mengendurkan hasratnya untuk melanjutkan ke Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Pendidikan strata-1 diselesaikan dalam waktu enam tahun sambil aktif sebagai Wakil Ketua Pengurus Poliklinik PW Muslimat NU DIY. Sementara itu, perhatian di bidang sosial disalurkan dengan menjabat sebagai Ketua Yayasan Kesejahteraan Keluarga (YKK) yang membidangi kegiatan-kegiatan di bidang peningkatan kesejahteraan sosial di wilayah Yogyakarta.

Jabatan Ketua PW Muslimat NU DIY diemban selama dua periode berturut-turut sejak tahun 1975. Kesibukan ini tidak menghalangi aktivitas sebagai Seksi Pendidikan PERSAHI (Pendidikan Wanita Persatuan Sarjana Hukum Indonesia) dan Gabungan Organisasi Wanita wilayah Yogyakarta. Naluri politik yang tersimpan selama belasan tahun ternyata tidak bisa dipendam Umroh begitu saja. Aktivitas sebagai bendahara DPW PPP mengantarkannya terpilih sebagai anggota DPRD DIY periode 1982-1987. Karir politiknya terus meningkat dari Wakil Ketua menjadi Pjs. Ketua DPW PPP DIY. Jabatan terakhir ini membawa Umroh ke Jakarta sebagai anggota DPR RI dari FPP selama dua periode. Umroh pernah menjabat sebagai Ketua Wanita Persatuan Pusat, organisasi wanita yang bernaung di bawah PPP. Sebagai anggota dewan, Umroh tercatat beberapa kali mengadakan kegiatan internasional diantaranya muhibah ke India, Hongaria, Perancis, Belanda, dan Jerman.
Domisili di Jakarta memudahkan Umroh melanjutkan aktivitas ke-NU-an sebagai Ketua Departemen Organisasi PP Muslimat NU, berlanjut sebagai Ketua III sampai sekarang. Sempat menikmati pensiun pasca pemilu 1997, Partai Kebangkitan Bangsa yang didirikan oleh Pengurus Besar NU mendorong Umroh terjun kembali ke dunia polittik sebagai salah satu ketua. Umroh yang berdomisili di Kompleks Kolombo 21, Yogyakarta, saat ini tercatat sebagai anggota DPR RI hasil pemilu 1999 dari Fraksi Kebangkitan Bangsa.

Sesepuh pendiri Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) Hj Umroh Machfudzoh meninggal dunia pada Jumat (6/11/2009) pagi sekitar pukul 6.45 WIB di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta. Almarhumah meninggal pada usia 73 tahun. Cucu KH Abdul Wahab Chasbullah ini akan dimakamkan sore sekitar pukul 15.30 WIB di pemakaman dekat kediaman Komplek Pondok Pesantren Sunni Darussalam, Tempelsari, Manguwoharjo, Sleman, Yogyakarta.

sejarah berdirinya :

Bermula dari perbincangan ringan yang dilakukan oleh beberapa remaja putri yang sedang menuntut ilmu di Sekolah guru Agama (SGA) Surakarta, tentang keputusan Muktamar NU ke-20 di Surakarta. Maka perlu adanya organisasi pelajar di kalangan Nahdliyat. Dalam keputusan ini di kalangan NU, Muslimat NU, Fatayat NU, GP. Ansor, IPNU dan Banom NU lainnya untuk membentuk tim resolusi IPNU putri pada kongres I IPNU di Malang Jawa Timur, selanjutnya disepakati dalam pertemuan tersebut bahwa peserta putri yang akan hadir di kongres Malang di namakan IPNU putri.
Dalam suasana kongres ternyata keberadaan IPNU putri nampaknya masih diperdebatkan dengan secara alot. Semula direncanakan secara administratif hanya menjadi departemen di dalam tubuh organisasi IPNU. Sementara hasil negosiasi dengan pengurus teras PP IPNU telah membentuk semacam kesan eksklusivitas IPNU hanya untuk pelajar putra. Melihat hasil tersebut maka pada hari kedua kongres, peserta putri yang hanya diwakili lima daerah (Yogyakarta, Surakarta, Malang, Lumajang, dan Kediri) terus melakukan konsultasi dengan dua jajaran di pengurus teras Badan Otonom NU yang menangani pembinaan organisasi pelajar yaitu PB Ma’arif (saat itu dipimpin Bpk. KH. Syukri Ghozali) dan ketua PP Muslimat NU (Mahmudah Mawardi). Maka dari pembicaraan selama beberapa hari telah membuat keputusan sebagai berikut:
1. Tanggal 28 Februari – 5 Maret
2. Pembentukan Organisasi IPNU putri secara organisatoris dan secara administratif terpisah dengan IPNU
3. Tanggal 2 maret 1995M/8 Rajab 1374 H dideklarasi8kan sebagai hari kelahiran IPNU putri
4. Untuk menjalankan roda organisasi dan upaya pembentukan pembentukan cabang selanjutnya ditetapkan sebagai ketua yaitu UMROH MAHFUDHOH dan sekretarisnya bernama SYAMSIYAH MUTHOLIB.
5. PP IPNU putri berkedudukan di Surakarta Jawa Tengah.
6. Memberitahukan dan memohon pengesahan resolusi pendirian IPNU putri kepada PB Ma’arif NU, kemudian PB Ma’arif NU menyetujui dengan merubah nama IPNU putri menjadi IPPNU(Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama)
PERJALANAN IPPNU DARI MASA KE MASA
Sejalan dengan adanya pelaksanaan konggres dari beberapa zaman ( Kemerdekaan, Orla, orba, Era reformasi) tentu mengalami berbagai peristiwa yang sangat menonjol dalam suatu keputusan kongres, dan dalam perjalanan IPNU dari masa ke masa antara lain :
1. Bulan Februari 1956 diadakan konferensi IPPNU di Surakarta
2. Tanggal 1-4 Januari 1957 pada muktamar IPNU di Pekalongan IPPNU ikut serta. Acara itu diisi olahraga dan juga menghasilkan lambang IPNU-IPPNU
3. Tanggal 14-17 Maret 1960 diadakan Konbes I di Yogyakarta, membicarakan tentang keorganisasian, kemahasiswaan, Pendidikan Islam serta bahasa Arab
4. Tahun 1964 dilaksanakan Konbes III bersama IPNU di Pekalongan, dengan menghasilkan :
a. Doktrin Pekalongan
b. Mengusulkan agar KH. Hasyim Asy’ari sebagai pahlawan
5. Tanggal 30 Agustus 1966 dalam konggres di Surabaya IPNU dan IPPNU memohon pada PBNU untuk menerimanya sebagai badan otonom
6. Tahun 1967 pada Muktamar NU di Bandung, resmilah IPPNU dimasukkan dalam PD/PRT NU sebagai badan otonom sampai sekarang
7. Pada perkembangan berikutnya nampak pemerintah juga tidak ingin mengambil resiko membiarkan dunia akademik terkontaminasi dengan unsur politik manapun, sehingga diberlakukan UU No. 8 tahun 1985 tentang keormasan khusus untuk organisasi ekstra pelajar adalah OSIS, selama itu IPPNU mengalami stagnasi pengkaderan dan PP didominasi oleh para aktivis yang usianya sudah melebihi batas. Maka pada konggres IX IPPNU di jombang tahun 1987, secara singkat telah mempersiapkan perubahan asas organisasi dan IPPNU yang kepanjanganya IKATAN PELAJAR PUTRI NAHDLATUL ULAMA telah berubah menjadi IKATAN PUTRI-PUTRI NAHDLATUL ULAMA.
8. Bulan Oktober 1990 pada Konbes IPPNU di lampung, menghasdilkan citra diri dan memantapkan PPOA IPPNU.
9. Pada konggres X IPPNU tahun 1991 di ponpes AL WAHDAH lasem jawa tengah, telah menguatkan independensi IPPNU dan IPNU yang merupakan organisasi terpisah.
10. Tanggal 10-14 juli 1996 di pesantren Al Musyaddidah garut Jabar mengadakan konggres XI IPPNU, yang menekankan usia kepemudaan di tubuh IPNU supaya sejajar dengan organisasi pemuda yang lain.
11. Konbes bulan september 1998 di Jakarta, menghasilkan rekomendasi yang samgat menonjol di era reformasi yaitu bahwa IPPNU menyambut baik pendirian PKB yang tidak menggumakan nama NU
12. Tanggal 22-25 Maret 2000, pelaksanaan konggres XII IPPNU di Makassar Ujung Pandang, telah mendeklarasikan bahwa IPPNU akan dikembalikanke basis kepelajaran dan wacana Gender.
13. Tanggal 18 –23 Juni 2003 kongres XIII IPPNU di asrama haji sukolilo Surabaya mengembalikan IPPNU kepada Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama
HUBUNGAN IPNU – IPPNU DAN ORMAS LAIN :
Kaitan IPNU – IPPNU dan NU, bahwa IPNU & IPPNU secara organisatoris merupakan badan otonom NU yang resmi tercantum pada Anggaran Rumah Tangga NU pasal 27 poin 6 bagian f, hasil mukatamar NU lirboyo jawa timur yang mana bahwa IPNU & IPPNU mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan badan otonom yang lain.
Hubungan IPNU dengan IPPNU, bahwa IPNU merupakan mitra kerja IPPNU, sedangkan hubungan IPNU & IPPNU dengan ormas lain , bahwa IPNU & IPPNU mempunyai kedudukan yang sejajar dengan ormas yang lain yang tergabung dalam satu wadah pembinaan dan pengembangan generasi muda (KNPI).

Biografi Tokoh IPNU




BIOGRAFI TOKOH IPNU IPPNU
---<( KH TOLHAH MANSYUR )>---

Prof. Dr. K. H. Muhammad Tholhah Mansur, S.H, beliau adalah seorang ulama sekaligus cendekiawan muslim yang berpengaruh. Beliau juga seorang guru besar ilmu keislaman dan hukum tata negara di berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta dan beberapa kota lain. Beliau juga menjadi salah satu dari tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang beberapa kali pernah menjabat sebagai dekan ataupun rektor di berbagai perguruan tinggi yang berbeda.

Seorang ulama yang berpandangan luas ini telah menjadi aktivis NU sejak usia remaja. Mengingat hal tersebut tidak mengherankan bila ulama yang satu ini dikenal dekat dengan generasi muda. Beliau tidak pernah lelah memberikan semangat dan dorongan kepada mereka. Mbah Tolchah merupakan tokoh istimewa dalam tubuh NU, selain mubaligh yang handal beliau sekaligus seorang yang produktif menulis buku-buku keagamaan, buku ilmu hukum, dan artikel di beberapa mediamassa. Beliau juga termasuk seorang birokrat di Yogyakarta yang pernah menduduki jabatan eksekutif maupun legislatif. Meskipun begitu, keulamaan dan kecendikiawanannya lebih menonjol dikalangan masyarakat daripada jabatan formal yang lain.

K.H Tholhah Mansur dilahirkan pada tanggal 10 September 1930 dikota Malang Jawa Timur, Putra dari K. H. Mansur, seorang ulama dan pedagang kecil di kota tersebut. Ayahnya yang berdarah Madura berkeinginan agar Muhammad Tholhah Mansur seperti kakaknya, Usman (Mayor K. H. Usman Mansur), kelak menjadi seorang ulama. Disela-selanya menuntut ilmu dijenjang pendidikan umum, ia giat mengaji. Proses pendidikan keduanya tidaklah lancar, tapi keduanya mampu dicapainya, walaupun memerlukan waktu lama. Beliau juga termasuk kutu buku dan gemar akan ilmu, sekaligus otodidak, bahkan beliau tak segan-segan menjual mobilnya untuk membeli kitab kuning dan buku.

Pendidikan pertama KH. Tolchah Mansur di peroleh di Madrasah Ibtidaiyah Nahdlatul Ulama Jagalan Malang (1937-1945), kemudian melanjutkan di Madrasah Tsanawiyah ditempat yang sama hingga kelas III. Di Madrasah yang didirikan oleh K. H. Nahrawi Thahir ini, Muhammad Tholhah Mansur diasuh oleh K.H. Muhammad Syukri Ghazali dan Kyai Murtaji Bisri.

Pada tahun 1947, pelajar usia 17 tahun ini menjadi sekretaris Sabilillah daerah pertempuran Malang Selatan, sehingga ia harus meninggalkan sekolahnya. Baru setelah perang kemerdekaan usai, ia meneruskan sekolah di Taman Madya Malang sampai lulus tahun 1951.

Setelah lulus Taman Dewasa, ia masuk Fakultas Hukum, Ekonomi, Sosial dan Politik (HESP), Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Kuliahnya tidak berjalan lancar, karena ia memang aktivis organisasi. Pada tahun 1953, Muhammad Tholhah Mansur berhenti kuliah untuk sementara waktu dan baru tahun 1959 ia kembali ke bangku kuliah. Semangat Mbah Tolchah untuk belajar tidak pernah surut, walaupun telah menikah beliau tetap kembali ke bangku kuliah untuk menyelesaikan studinya, hingga kemudian Ia mampu menyelesaikan jenjang sarjana dan menjadi Sarjana Hukum pada tahun 1964.

Meskipun waktu yang diperlukan oleh Mbah Tolchah untuk menempuh sarjana hukum memakan waktu 13 tahun. Namun, berkat kegemarannya membaca beliau mampu menyelesaikan gelar Doktor Ilmu Hukum ( Jurusan Hukum Tata Negara) dalam waktu relatif singkat. Yakni dalam waktu hanya lima tahun. Dengan Promotor Prof. Abdul Baffar Pringgodigdo, S.H, Muhammad Tholhah Mansur berhasil meraih gelar Doktor Ilmu Hukum Universitas Gajah Mada dengan judul disertasi “Pembahasan Beberapa Aspek Tentang Kekuasaan-kekuasaan Eksekutif dan Legislatif Negara Indonesia (17 Desember 1969)”. Disertasi ini kemudian diterbitkan menjadi buku oleh penerbit Radya Indria, Yogyakarta(1970).

Pendidikan ilmu-ilmu kesilaman didapatkannya dari guru-guru ngaji, khususnya K. H. Syukri Ghazali ketika ia belajar di Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah Jagalan. Kebetulan rumah Muhammad Tholhah Mansur tidak jauh dari madrasah dan rumah mantan ketua umum Majelis Ulama Indonesia itu. Selesai sekolah ia langsung mengaji, demikian pula ketika ia membantu K. H. Syukri Ghazali mengajar di madrasah tersebut. Disamping itu ia mengaji posonan (bulan Ramadhan) ke beberapa pondok pesantren. Diantaranya, di Pondok Pesantren Tebuireng dan Pondok Pesantren Al-Hidayah, Soditan Lasem. dibawah asuhan K. H. Ma’shum. Karena ia memang santri yang cerdas dan otodidak, maka wajarlah bila K. H. Muhammad Tholhah Mansur akhirnya menjadi seorang ulama besar.

Pengabdian KH. M Tholhah Mansur pada Organisasi dan Masyarakat

Dalam kehidupan organisasi, K. H. Muhammad Tholhah Mansur telah menjadi aktivis organisasi sejak usia remaja, terutama dikalangan NU. Ketika masih duduk dibangkuTsanawiyah, Ia pernah menjadi Sekretaris Ikatan Murid Nahdlatul Ulama (IMNU) kota Malang(1945). Pada saat itu Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) belum lahir, baru pada sembilan tahun kemudian  Mbah Tolchah menjadi salah satu penggagas berdirinya IPNU.

Pengalaman organasisi berikutnya yang diperoleh oleh Mbah Tolchah adalah saat beliau berpindah ke Yogyakarta. Saat itu Ia pernah menjabat sebagai menjadi wakil Departemen Penerangan Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia (PII) dan menjadi ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) wilayah Yogyakarta.

Meskipun pernah menduduki berbagai jabatan strategis dalam beberapa organisasi islam yang pernah ada saat itu, sebagai generasi muda NU yang militan ia mempunyai gagasan mendirikan organisasi Islam yang khusus mewadahi pelajar NU. Gagasan ini kemudian Ia sampaikan dan akhirnya pada Konferensi Lembaga Pendidikan Ma’arif NU di Semarang (22 Februari 1954) Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) didirikan. Kemudian, berdasarkan konferensi tiga kota di Solo rekan Tholhah dipilih secara aklamasi terpilih sebagi ketua umumnya.

Setahun kemudian menyusul berdirinya Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) yang dipimpin oleh Ny Hj.Umroh Mahfudlah(1955). Jabatan ketua umum ini dipertahankannya dalam Muktamar I di Malang (1955), Muktamar II di Pekalongan (1957) dan Muktamar III di Cirebon (1958). Sampai sekarang kedua organisasi ini tetap hidup, walaupun pada tahun 1985 sesuai UU Nomor 8 Tahun 1985 yang melaranga danya organisasi pelajar selain OSIS, maka IPNU menjadi Ikatan Putra Nahdlatul Ulama dan IPPNU menjadi Ikatan Putri Putri Nahdlatul Ulama. Di era reformasi kondisi telah berbeda maka sejak tahun 2003 IPNU dan IPPNU kembali menjadi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama sebagimana semula sewaktu didirikan.

Perjuangan K. H. Muhammad Tholhah Mansur selanjutnya adalah sebagai ketua Pengurus Wilayah Partai NU Daerah Iistimewa Yogyakarta. Setelah terjadi fusi empat partai islam (NU, Parmusi, PSII dan Perti) menjadi Partai Persatuan Pembangunan (5 Januari 1973), beliau lebih banyak berperan aktif di Jamiyah Nahdlatul Ulama, disamping sebagai guru besar di beberapa perguruan tinggi dan mubaligh. Sebagai gantinya Dra. HJ. Umroh Mahfudloh (istrinya), tampil sebagai aktivis PPP, bahkan sampai menjadi ketua DPW PPP Daerah Istimewa Yogyakarta dan beberapa kali menjadi anggota DPRD I Yogyakarta dan DPD/MPR RI. Prof. Dr. K. H. Muhammad Tholhah Mansur, adalah salah seorang tokoh yang ikut membidani kembalinya ke Khittah 1926, dalam Muktamar NU ke 27 di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukerejo, Asembagus Situbondo, yang diasuh oleh K. H. As’ad Syamsul Arifin. Dalam Muktamar tersebut , beliau terpilih sebagai salah seorang Rois Syuriah PBNU dibawah pimpinan Rois Aam K. H. Ahmad Shiddiq dan Wakil Rois Aam K. H. Rodli Sholeh.

Sesuai dengan aktivitasnya dalam organisasi, maka K. H. Muhammad Tholhah Mansur pernah beberapa kali memegang jabatan dalam pemerintahan terutama di Daerah IstimewaYogyakarta. Ia pernah terpilih menjadi anggota DPR mewakili NU (1958) dan tahun itu juga ia diangkat sebagai anggota Dewan Pemerintah Daerah (DPD), kemudain badan ini diubah namanya menjadi BPH (Badan Pemerintah Harian) Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta(1958). BPH Merupakan lembaga eksekutif di daerah yang bertugas membantu kepala daerah.

Profesi Utama K. H. Muhammad Tholhah Mansur adalah sebagai pendidik sekaligus juru dakwah dan pengarang. Sewaktu masih kuliah tingkat doktoral, beliau menjadi asisten dosen di IAIN Sunan Kalijaga( Sekarang UIN Sunan Kalijaga). Setelah lulus beliau masih tetap mengajar di IAIN, kemudian juga di beberapa perguruan tinggi lainnya seperti IKIP Yogyakarta (sekarang UNY), Akademi Militer di Magelang, IAIN Sunan Ampel Surabaya, Akademi Administrasi Negara, Universitas Hasyim Asy’ari Jombang, Universitas Nahdlatul Ulama Solo dan lain-lain. Guru Besar Hukum ini pernah memegang jabatan di beberapa perguruan tinggi , diantaranya Pembantu Rektor IAIN Sunan Kalijaga, kemudian Dekan Fakultas Ushuluddin, Direktur Akademi Administrasi Niaga Negeri di Yogyakarta (1965-1967), Rektor Universitas Hasyim Asy’ari (1970-1983) merangkap Rektor Institut Agama Islam Imam Puro, Purworejo (1975-1983) dan Dekan Fakultas Hukum Islam UNU (Universitas Nahdlatul Ulama) Surakarta. Dan juga pernah menjadi anggota badan Wakaf IAIN Sunan Kalijaga dan Badan Penyantun Taman Siswa Yogyakarta. Ulama sekaligus guru besar ini wafat pada hari senin 20 Oktober 1986 dan makamkan di kompleks makam Dongkelan Yogyakarta.

Diambil dari buku EnsiklopediUlama Nusantara karya H.M. Bibit Suprapto, S.H.,M.Sc.,M.Si


Semoga bisa menambah wawasan untuk anggota IPNU dan IPPNU dan menjadi tauladan bagi kita semua, Semoga bermanfaat

Kamis, 05 Maret 2015

Seni Drum Band Kebanggaan Pimpinan Ranting  IPNU IPPNU Kalibuntu Kec. Pabedilan Kab. Cirebon.
"IPNU IPPNU Masa Depan, Format dan Harapan Menuju Era Globalisasi"

Rabu, 04 Maret 2015

Biografi KH Kholil Bangkalan Madura



Biografi KH Kholil Bangkalan Madura (Syaikhona Mbah Kholil)



BANGKALAN- KH Abdul Lathif, warga Desa Kemayoran, Kecamatan Kota, Bangkalan, merasakan kegembiraan karena hari itu, Selasa 11 Jumadil Akhir 1235 H atau 27 Januari 1820 M, dari rahim istrinya lahir seorang anak laki-laki yang sehat, diberi nama Muhammad Kholil, yang kelak akan terkenal dengan nama Mbah Kholil.
 KH Abdul Lathif sangat berharap anaknya dikemudian hari menjadi pemimpin umat, sebagaimana nenek moyangnya. Mbah Kholil kecil berasal dari keluarga ulama. Ayahnya, KH Abdul Lathif, mempunyai pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati. Ayah Abdul Lathif adalah Kiai Hamim, putra dari Kiai Abdul Karim.
 Yang disebut terakhir putra Kiai Muharram bin Kiai Asror Karomah bin Kiai Abdullah bin Sayyid Sulaiman. Sayyid Sulaiman cucu Sunan Gunung Jati. Maka tak salah kalau KH. Abdul Lathif mendambakan putranya kelak bisa mengikuti jejak Sunan Gunung Jati, karena memang  masih terhitung keturunan.
 Mbah Kholil dididik dengan sangat ketat oleh ayahnya. Mbah Kholil kecil memang menunjukkan bakat yang istimewa, kehausannya akan ilmu, terutama ilmu Fiqh dan nahwu. Bahkan ia sudah hafal dengan baik Nazham Alfiyah Ibnu Malik (seribu bait ilmu Nahwu) sejak usia muda. Untuk memenuhi harapan dan juga kehausannya mengenai ilmu Fiqh dan ilmu yang lainnya, maka orang tua Mbah Kholil kecil mengirimnya ke berbagai pesantren untuk menimba ilmu.
 Mengawali pengembaraannya, Mbah Kholil muda belajar kepada Kiai Muhammad Nur di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan beliau pindah ke Pondok Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Kemudian beliau pindah ke Pondok Pesantren Keboncandi. Selama belajar di Pondok Pesantren ini beliau belajar pula kepada Kiai Nur Hasan yang menetap di Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi.
 Kiai Nur Hasan ini, sesungguhnya, masih mempunyai pertalian keluarga dengannya. Jarak antara Keboncandi dan Sidogiri sekitar 7 Kilometer. Tetapi, untuk mendapatkan ilmu, Mbah Kholil muda rela melakoni perjalanan yang terbilang lumayan jauh itu setiap harinya. Di setiap perjalanannya dari Keboncandi ke Sidogiri, ia tak pernah lupa membaca Surat Yasin.
Sebenarnya, bisa saja Mbah Kholil muda tinggal di Sidogiri selama nyantri kepada Kyai Nur Hasan, tetapi ada alasan yang cukup kuat bagi dia untuk tetap tinggal di Keboncandi. Mbah Kholil tinggal di Keboncandi agar bisa nyambi menjadi buruh batik. Dari hasil menjadi buruh batik itulah dia memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
 Sewaktu menjadi Santri Mbah Kholil telah menghafal beberapa matan, seperti Matan Alfiyah Ibnu Malik (Tata Bahasa Arab). Disamping itu beliau juga seorang Hafidz Al-Quran. Beliau mampu membaca Al-Qur’an dalam Qira’at Sab’ah (tujuh cara membaca Al-Quran).
Kemandirian Mbah Kholil muda juga nampak ketika ia berkeinginan untuk menimba ilmu ke Makkah. Karena pada masa itu, belajar ke Makkah merupakan cita-cita semua santri. Dan untuk mewujudkan impiannya kali ini, lagi-lagi Mbah Kholil muda tidak menyatakan niatnya kepada orangtuanya, apalagi meminta ongkos kepada orangtua.
 Kemudian, setelah Mbah Kholil memutar otak untuk mencari jalan keluarnya, akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke sebuah pesantren di Banyuwangi. Karena, pengasuh pesantren itu terkenal mempunyai kebun kelapa yang cukup luas. Dan selama nyantri di Banyuwangi ini, Mbah Kholil nyambi menjadi “buruh” pemetik kelapa pada gurunya. Untuk setiap pohonnya, dia mendapat upah 2,5 sen.
 Uang yang diperolehnya tersebut dia tabung. Sedangkan untuk makan, Mbah Kholil menyiasatinya dengan mengisi bak mandi, mencuci dan melakukan pekerjaan rumah lainnya, serta menjadi juru masak teman-temannya. Dari situlah Mbah Kholil bisa makan gratis.
 Saat usianya mencapai 24 tahun, Mbah Kholil memutuskan untuk pergi ke Makkah. Tetapi sebelum berangkat, Mbah Kholil menikah dahulu dengan Nyai Asyik, putri Lodra Putih.
Setelah menikah, berangkatlah dia ke Mekkah. Dan memang benar, untuk ongkos pelayarannya bisa tertutupi dari hasil tabungannya selama nyantri di Banyuwangi, sedangkan untuk makan selama pelayaran, konon Mbah Kholil berpuasa. Hal tersebut dilakukan Mbah Kholil bukan dalam rangka menghemat uang, akan tetapi untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, agar perjalanannya selamat.
 Di Makkah Mbah Kholil belajar dengan Syeikh Nawawi Al-Bantani (Guru Ulama Indonesia dari Banten). Di antara gurunya di Makkah ialah Syeikh Utsman bin Hasan Ad-Dimyathi, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Mustafa bin Muhammad Al-Afifi Al-Makki, Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud Asy-Syarwani. Beberapa sanad hadits yang musalsal diterima dari Syeikh Nawawi Al-Bantani dan Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail Al-Bimawi (Bima, Sumbawa).
 Sebagai pemuda Jawa (sebutan yang digunakan orang Arab waktu itu untuk menyebut orang Indonesia) pada umumnya, Mbah Kholil belajar pada para Syeikh dari berbagai madzhab yang mengajar di Masjid Al-Haram. Namun kecenderungannya untuk mengikuti Madzhab Syafi’i tak dapat disembunyikan. Karena itu, tak heran kalau kemudian dia lebih banyak mengaji kepada para Syeikh yang bermadzhab Syafi’i.
 Konon, selama di Makkah, Mbah Kholil lebih banyak makan kulit buah semangka ketimbang makanan lain yang lebih layak. Realitas ini bagi teman-temannya, cukup mengherankan. Kebiasaan memakan kulit buah semangka kemungkinan besar dipengaruhi ajaran ngrowot (vegetarian) dari Al-Ghazali, salah seorang ulama yang dikagumi dan menjadi panutannya.
 Sewaktu berada di Makkah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Mbah Kholil bekerja mengambil upah sebagai penyalin kitab-kitab yang diperlukan oleh para pelajar.
Sepulangnya dari Tanah Arab, Mbah Kholil dikenal sebagai seorang ahli Fiqh dan Tarekat. Bahkan pada akhirnya, dia pun dikenal sebagai salah seorang Kiai yang dapat memadukan kedua hal itu dengan serasi. Dia juga dikenal sebagai al-Hafidz (hafal Al-Qur’an 30 Juz). Hingga akhirnya, Mbah Kholil dapat mendirikan sebuah pesantren di daerah Cengkubuan, Bangkalan.
 Banyak santri yang berdatangan dari desa-desa sekitarnya. Namun, setelah putrinya, Siti Khatimah dinikahkan dengan keponakannya sendiri, yaitu Kiai Muntaha, pesantren di Cengkubuan itu kemudian diserahkan kepada menantunya. Mbah Kholil sendiri mendirikan pesantren lagi di daerah Demangan, pusat kota. Letak Pesantren yang baru itu, hanya selang 1 Kilometer dari Pesantren lama.
 Di tempat yang baru ini, Mbah Kholil juga cepat memperoleh santri lagi, bukan saja dari daerah sekitar, tetapi juga dari Tanah Seberang, Pulau Jawa. Santri pertama yang datang dari Jawa tercatat bernama Hasyim Asy’ari, dari Jombang.
 Di sisi lain, Mbah Kholil disamping dikenal sebagai ahli Fiqh dan ilmu Alat (nahwu dan sharaf), ia juga dikenal sebagai orang yang waskita atau weruh sak durunge winarah (tahu sebelum terjadi). Malahan dalam hal yang terakhir ini, nama Mbah Kholil lebih dikenal.
Syekh Kholil wafat pada hari Kamis tanggal 29 Ramadhan 1343 H (1925 M). Jenazah beliau disalatkan di Masjid Agung Bangkalan. Kemudian dimakamkan di Pemakaman Martajasah, Bangkalan.