Minggu, 01 Maret 2015

Tradisi Orang NU

ABSTRAK
            Artikel ini di susun untuk membahas tradisi-tradisi atau landasan orang-orang NU yang kaya akan tradisinya, sehingga kalau kita membahas NU memang mengasyikan. Pasalnya, tingkah lakunya kadang-kadang di pandang aneh sebagian orang, mungkin saja karena mereka orang-orang yang menganggap aneh itu belum menganal banyak ritual itu dalam lingkunganya, maka penulis disini akan membahas sebagian tradisi orang NU yang begitu signifikan, atau di sebut juga landasan-landasan orang-orang NU di antaranya hukum bermadzhab, mengikuti Sahabat Nabi, mengikuti mayoritas dan mengikuti Ulama. Penulis disi akan membahas satu persatu tentang istilah di atas dengan beberapa dalil yang di pakai orang-orang NU. Sebagai contoh, mungkin ketika anda bertanya kepada orang NU yang sedang melakukan tradisi berziarah, “ kok bisa melakukan begitu ? ” tentu jawabnya “ larena aku cinta “ adakah engkaeu berdoa kepadanya ? tidak, aku hanya berdoa kepada Allah, aku hanya tawwasul kepadanya, dan kalau berbicara tawwasul mungkin panjang, dan itu yang sangat di sukai orang N, walaupun sebagian orang mengharamkanya. Namun penulis disini tidak akan membahas tentang itu, tapi akan mebahas tentang landasan-landasan orang NU yang telah di sebutkan di atas. Sebab semua golongan mempunyai landasan dan dalil tersendiri, namun tidak di anjurkan untuk saling bantah membantah, sebab yang di utamakan orang NU adalah persatuan dan kesatuan,









BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Orang-orang yang berpegang pada ” kitab kuning“ [1] sebenarnya mudah di tebak, mereka adalah orang-orang NU, orang yang ikut serta dan ikut andil dalam perkumpulan Nahdhatul Ulama, dan secara jujur penulis katakana, Organisasi ini merupakan hasil daya cipta para ulama terdahulu yang mempunyai pemikiran maju di zamannya, jika di lihat dari namanya yang berarti kebangkitan para ulama, kata ulama bentuk  jamak dadi alim, yang artinya orang pintar, cendikiawan. Hanya kata ulama ini di tempatkan dalam ranah keagamaan, yang berarti seorang yang pandai dalam hal agama. Padahal NU itu kalau di ibaratkan sebagai segerbong kreta raksasa, yang di dalamnya terdapat berbagai macam penumpang, ada seorang guru, petani, pelayan lestoran, tukang buruh, dokter, seniman, artis, penyanyi,  ulama, kiyai, santri dan lain sebagainya, semuanya bias masuk dalam wadah yang di namakan NU. Sebab sudah jelas NU mengatakan “ asasku adalah islam ahlussunah wal jamaah “ mengikuti satu dari empat madzhab, yaitu Maliki, Hanafi, Syafi’I, dan Hanbali.
Lalu timbul pertanyaan dari seorang anak sekolahan yang fanatik yang bertamu kepada seorang kiyai kampung sambil bertanya sebuah permasalah, kemudian kiyai itu menjawab dengan sebuah referensi dari kitab kuning, si anak yang sok itu bertanya “ ko referensinya dari kitab kuning  ? “ dengan tenang kiyai itu menjawab “ adakal kitab kuning yang keluar dari Al-Qur’an dan Assunah ?  dengan rasa malu anak sekolahan itu mukanya merah penuh dengan rasa malu, tak satukatapun yang keluar, bahwa kitab kuning itu menyimpang dari Al-Qur’an dan Assunah.
B.       Tujuan 

Artikel ini di susun, untuk memantafkan keyakinan Kaum muslimin di manapun, khususnya Golongan suni sendiri,[2] pada umumnya mengakui madzhab yang empat, yang oleh mereka di jadikan sebagai panutan, yang di ikuti setiap pemikiran yang berlian yang di curahkan oleh mereka, empat ulama tersebut menjadi cara berfikir penganutnya dalam memahami Al-Quran dan Hadits Nabi, dan kemudian membingbing mereka dalam beribadah, sehingga tidak keliru, dan tidak berfanatik, apalagi membuat golongan minoritas, yang memisahkan diri dari golongan mayoritas, sehingga akan menimbulkan perpecahan di kalangan umat islam. Berangkat dari sinilah ulama NU dengan berfikir cemerlang, ingin menyatukan umat islam dalam satu wadah yang kokoh yang akhirnya didirikanlah Nahdhatul Ulama, di bawah bendera Ahlusunnah Waljama’ah, disisilain sekelompok minoritas tidak mau mengikuti golongan raksasa ini, dan mereka secara diam-diam melengkapi keilmuan mereka dengan kitab kuning yang di karang jutaan para ulama ahlusunnah, yang berada di barisan ulama yang empat.

A.      PEMBAHASAN
Sudah di katakana bahwa NU itu adalah organisasi keagamaan yang berbenderakan Ahlussunah Waljama’ah, yang di maksud Ahlussunah Waljama’ah adalah golongan orang yang ibadah dan tingkah lakunya selalu berdasakan Al-Qur’an dan Al-Hadits, sementrara pengambilan hukum islamnya mengikuti mayoritas ilmu fiqh, adapun di antara  tradisi orang-orang NU yang signifikan adalah sebagai berikut
1.          Hukum Bermadzhab
Bermadzhab artinya mengikuti salah satu madzhab.“Madzhab”itu sendiri artinya aliran/jalan, Bagi orang NU hukum bermadzhab adalah wajib hukumnya,[3] Mengenai keberadaan negara kita di indonesia ini adalah bermadzhabkan syafii, demikian Guru-Guru kita dan Guru Guru mereka, Sanad Guru mereka jelas hingga Imam syafii, dan sanad mereka muttashil hingga Imam Bukhari, bahkan hingga Rasulullah  saw, bukan orang orang masa kini yg mengambil ilmu dari buku terjemahan lalu berfatwa untuk memi Seyogianya, bahwa kita mesti menyesuaikan dengan keadaan, bila kita di makkah misalnya, maka madzhab disana kebanyakan hanafi, dan di Madinah madzhab kebanyakannya adalah Maliki, selayaknya kita mengikuti madzhab setempat, Agar tak menjadi Fitnah dan dianggap lain sendiri
Beda dengan sebagian muslimin masa kini yg selalu  mencari yang aneh dan beda, tak mau ikut jamaah dan cenderung memisahkan diri agar dianggap lebih alim dari yang lain. Hal ini adalah dari ketidak fahaman melihat situasi suatu tempat dan kondisi masyarakat. Memang tak ada perintah wajib bermadzhab secara shariih. Namun bermadzhab wajib hukumnya, karena Qaidah Syariah adalah Maa Yatimmul waajib illa bihi fahuwa wajib [4] .
yaitu apa-apa yg mesti ada sebagai perantara untuk mencapai hal yg wajib, menjadi wajib hukumnya.
Misalnya, kita membeli Air tentunya hukumnya adalah Mubah, namun kalau kita akan shalat fardzu, tapi air tidak ada dan yang ada hanyalah air yang harus di beli, maka hukum membeli air berubah hukumnya menjadi wajib. Demikian pula dalam syariah ini, tak wajib mengikuti madzhab, namun karena kita tak mengetahui samudra syariah seluruh madzhab, atau tak sanggup untuk menggali seluruh isi Al-Quran dan Assunah, dan kita hidup setelah 14 abad yang lalu setelah wafatnya Nabi, maka kita tak mengenal hukum ibadah, kecuali menelusuri fatwa imam-imam muhadits terdahulu, maka bermadzhab menjadi wajib hukumnya, dan berpindah madzhab boleh-boleh saja, bila sesuai dengan situasinya, misalnya seorang pindah ke madinah, tak sepantasnya ia bersikeras bermadzhab syafii, dan begitupun sebaliknya. Kenapa kita di wajibkan mengikuti madzhab ? sebab kita belum mampu mengupas lautan syariah yang begitu luas dan dalam, hanya orang cerdas dan berilmu tinggi yang bloeh mengupas sendiri Al-Quran dan Hadits yang bias di pertanggung jawabkan, sebagaimana dalil ke satu.
 كان سيدي علي الخواص رحمه الله إﺫسأله انسان عن التقيد بمﺬهب معين الآن . هل هو واجب أولا . يقول له يجب عليك التقيد بمﺬهب مادمت لم تصل إلى شهود عين الشريعة الأولى خوفا من الوقوع فى الضلال وعليه عمل الناس اليوم (الميزان الشعراني)
Jika tuanku yang mulia Ali Al Khawash r.h. ditanya oleh seorang tentang mengikuti madzhab tertentu sekarang ini, apakah wajib atau tidak? Beliau berkata : ”Anda harus mengikuti suatu madzhab selama Anda belum sampai mengetahui inti agama, karena khawatir terjatuh pada kesesatan”. Dan ia harus melaksanakan apa yang dilaksanakan oleh orang lain sekarang ini.[5]

Dalil kedua :
قال صلى الله عليه وسلم "اتبعوا السواد الأعظم" . ولما اندرست المﺬاهب الحقة بانقراض . أئمتها إلا المﺬهب الأربعة التى انتشرت أتباعها كان أتباعها أتباعا للسواد الأعظم والخرج عنها خروجا عن السواد الأعظم (سلم الأصول شرح نهاية ؛ الجزء الربع)
Nabi SAW bersabda : ”Ikutilah mayoritas (umat Islam)”. Dan ketika madzhab-madzhab yang benar telah tiada, dengan wafatnya para imamnya, kecuali 4 (empat) madzhab yang mengikutinya tersebar luas, maka mengikuti madzhab empat tersebut berarti mengikuti mayoritas, dan keluar dari madzhab empat tersebut berarti keluar dari mayoritas.[6].


Madzhab yang tersohor dan aliran madzhabnya telah dikodifisikan digolongkan menjadi 4 (empat) madzhab. Empat madzhab tersebut adalah :
1.      Madzhab Hanafi, yaitu madzhab yang dinisbahkan kepada Imamnya, yakni Imam Abu Hanifah Al Nu’man bin Tsabit, beliau lahir di kota Kuffah pada tahun 80 Hijriyah dan meninggal dunia pada tahun 150 Hijriyah dan madzhab hanafi sebenarnya kumpulan serta pendapat Imam Abu Hanifah Al Nu’man bin Tsabit beserta murid-muridnya serta pendapat-pendapat yang berasal dari para pengganti mereka sebagai perincian dan perluasan pemikiran yang telah digariskan oleh mereka yang kesemuanya adalah hasil dari pada cara dan metode ijtihad ulama-ulama Irak. Maka disebut juga, mazhab Ahlur Ra’yi masa Tsabi’it Tabi’in. Abu Hanifah adalah seorang mujtahid yang ahli ibadah. Dalam bidang fiqh beliau belajar kepada Hammad bin Abu Sulaiman pada awal abad kedua hijriah dan banyak belajar pada ulama-ulama tabi’in, seperti Atha bin Abi Rabah dan Nafi’ Maula Ibnu Umar.
2.      Madzhab Maliki, yaitu kumpulan pendapat-pendapat yang berasal dari Imam Malik dan para penerusnya di masa sesudah beliau meninggal dunia. Pendiri madzhab Maliki adalah Imam Malik bin Anas bin Malik, beliau lahir di kota Madinah Al Munawarah pada tahun 90 Hijriyah dan beliau meninggal dunia pada tahun 179 Hijriyah. Imam Malik belajar pada ulama-ulama Madinah, yang menjadi guru pertamanya ialah Abdur Rahman bin Hurmuz. Beliau juga belajar kepada Nafi’ Maula Ibnu Umar dan Ibnu Syihab Az Zuhri. Adapun yang menjadi gurunya dalam bidang fiqh ialah Rabi’ah bin Abdur Rahman. Imam Malik adalah imam negeri Hijaz, bahkan tokohnya semua bidang fiqh dan hadits.
3.      Madzhab Syafi’i, yaitu madzhab Imam Abu Abdillah bin Idris bin Syafi’i, beliau lahir di kota Gazza pada tahun 150 Hijriyah dan beliau meninggal dunia pada tahun 204 Hijriyah. Guru Imam Syafi’i yang pertama ialah Muslim bin Khalid, seorang Mufti di Mekah. Imam Syafi’i sanggup hafal Al Qur-an pada usia sembilan tahun. Setelah beliau hafal Al Qur-an barulah mempelajari bahasa dan syi’ir ; kemudian beliau mempelajari hadits dan fiqh.
Mazhab Syafi’i terdiri dari dua macam ; berdasarkan atas masa dan tempat beliau mukim. Yang pertama ialah Qaul Qadim; yaitu mazhab yang dibentuk sewaktu hidup di Irak. Dan yang kedua ialah Qul Jadid; yaitu mazhab yang dibentuk sewaktu beliau hidup di Mesir pindah dari Irak
4.    Madzhab Hambali, yaitu madzhab Imam Ahmad bin Hambal, lahir di Marwaz pada tahun 164 Hijriyah dan beliau meninggal dunia pada tahun 241 Hijriyah. Imam Ahmad bin Hambal adalah seorang imam yang banyak berkunjung ke berbagai negara untuk mencari ilmu pengetahuan, antara lain : Siria, Hijaz, Yaman, Kufah dan Basrah. Dan beliau menghimpun 40.000 hadist dalam kitab Musnadnya[7].  Dari sini, dapat kita simpulkan bahwa hukum bermadzhab adalah wajib bagi orang yang tidak mengerti dan belum  sampai terhadap persyaratan seorang mujtahid[8]. Maka  hukum bermadzhab adalah wajib  .
2.      Mengikuti sahabat Nabi
Dalam masalah Agama, yang di sebut sahabat adalah, orang muslim yang hidup pada zaman Rosulullah, pernah melihat ataupun tidak, dalam waktu lama ataupun sebentar saja. Sahabat adalah sebutan yang di berikan Nabi untuk kaum muslimin pada zamanya. [9]
Mereka semua adalah orang-orang yang beruntung, sebab bisa hidup pada zamanya, dan bisa menerima ajaran agama langsung dari beliau, dan pasti amalan merekapun masih asli belum ada yang merubah, tak ada pada zaman tersebut niat untuk merubah atau mereka yasa, berkenaan dengan sahabat itu begitu dekatnya dengan nabi, maka rosulpun berpesan kepada kaum muslimin dan muslimat, agar mengikuti amalan para sahabat, makanya nabi selalu menekankan agar mengikuti para sahabat nabi tersebut, oleh karena itu NU selalu berlandaskan kepada para sahabat, sebagaimana keterangan :

Dalil pertama  hadits nabi :
Rasulallah pernah bersabda : Aku berpesan kepadamu, Hai kaum muslimin, hendaknya kalian selalu bertaqwa dan taat kepada Allah, meski yang memerintah itu seorang hamba sahaya. Sebab pada kehidupan kalian suatu hari nanti akan mengalami berbagai perbedaan (konflik). Maka tetaplah kalian pada sunnahku (jalan/jejak) dan jejak para Khulafa'ur Rasyidin yang mendapatkan hidayah Allah (HR Abu Dawud dan At Tirmidzi, hadits hasan shohih)[10]
Dari hadits di atas jelas, bahwa kita harus mengikuti para sahabat Nabi, yaitu dengan mengikuti hadits-hadits yang di riwayatkan mereka, sekaligus mentaati fatwa-fatwa mereka, namun bukan berarti kita harus selamanya mengikuti hadits nabi tetapi meninggalkan fatwa ulama, sebab ada hukum yang mungkin kurang sesuai dengan hadits napi pada jaman sekarang, orang-orang jaman sekarang maunya memisahkan diri, merasa sok alim, padahal ilmu mereka belum memunpuni dalam soal membedah keilmuan sariyah, sehingga mereka menyeleweng dan mengakibatkan fanatic terhadap golongan lain, namun seandainya seseorang benar-benar mampu menjadi seorang mujtahid, maka taklid kepada orang hukunya haram, wajib menentukan hukum sendiri, sebagaimana Imam Abu Hanifah pernah berkata :”Haram bagi seseorang mengemukakan pendapat kami, sampai dia mengetahui dari mana kami mengambilnya” dari perkataan imam tadi, bisa di simpulkan, bahwa mengikuti imam yang empat haram hukumnya bagi orang yang sudah mampu mengungkapkan dali-dalil yang sedalam-dalamnya dari Al-Qur’an dan assunah, namun sebaliknya bagi orang yang belum mampu melakukan itu, dan ilmunya masih di ragukan, maka wajib mengikuti imam yang empat. Karena imam yang empat merupakan perwujudan dari sekian banya para sahabat Rosulullah, di tampung di diri empat orang, yaitu imam yang empat,
Karena itulah, salah satu muridnya Imam syafi’I yang bernama Yunus bin Abil A’la Ash Shadafi dalam satu majelis pernah ditanya tentang satu masalah. Maka dia menjawabnya dengan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu ada yang bertanya : ”Apa pendapat Imam Syafi’i dalam masalah tersebut?” Beliau menjawab: ”Madzhab Imam Syafi’i ialah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena saya pernah mendengar beliau berkata : ”Jika ada hadits shahih, maka itulah madzhabku”.Demikian juga para sahabt nabi yang wajib kita ikuti, sebab mereka pernah hidup pada zaman nabi, dan menerima ajaran secara langsung dari Nabi Muhamad SAW.
3.      Mengikuti Mayoritas
Di antara tradisi orang NU itu adalah suka mengikuti mayoritas, golongan yang paling banyak, dan mungkin sudah barang tentu seyogianya kepada setiap mukmin memperhatikan golongan mayoritas di negrinya. Sebab sudah tentu aqidah yang benar itu adalah Ahlussunah Waljamaah,. Orang islam tidak boleh menyendiri, dalam artian dia memisahkan diri dari golongan mayoritas itu, sebab akan menimbulkan perpecahan, Karena perpecahan lah yang di inginkan oleh faham-faham yang sesat, seperti faham wahabi kaki tanganya Israel, mereka menginginkan kita pecah belah sehingga kekuatan kita melemah, kalau sudah lemah tidak akan jauh nasib kita dengan palestina dan Negara lain yang berhasil mereka hancur leburkan.
Oleh sebab itu prinsif yang di pegang oleh orang NU adalah ukhuwah islamiyah, persatuan dan kesatuan, menjauhi sifat fanatic antar golongan, adapun perbedaan dalam hal agama itu merupakan anugrah, jangan di permasalahkan,  jangankan perbedaan antar golongan, dalam satu madzhabpun kerap sekali ada perbedaan, sebagai contoh penulis menyajikan sebuah permasalahan dalam sholat jum’at, dalam madzhab safi’iyahpun ada perbedaan, dalam madzhab safi’iyah  sholat jum’at itu syah apabila 40 orang yang sudah baligh dan mukim, namun ulama syafi’iyah sendiri ada yang membolehkan empat jamaa’h juga syah, seperti yang di tokohi oleh Imam Muzan, hal ini berdasarkan qaul qodim, kaul safii yang pertama,[11] tapi mereka tidak mempermasalahkan masalah itu, yang haris di permasalahkan adalah orang yang tidak melakukan sholat jum’at, sepert halnya zaman sekarang, semua orang sibuk dengan gosif Aa gym poligami, padahal poligami di bolehkan agama, tapi artis-artis yang kumpul kebo kita diam saja, inilah penyakit bangsa kita yang harus di buang jauh-jauh, intinya kita harus mengedepankan persatuan, dan mayoritas di Negara kita adalah Ahlussunah Wal jamaah, maka wajib mengikutinya, sebagaimana hadits rosul tadi : قال صلى الله عليه وسلم "اتبعوا السواد الأعظم                                    
Nabi SAW bersabda : ”Ikutilah mayoritas (umat Islam)”[12]

Dalil kedua :
                   أَنَسُ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ أُمَّتِي
                            الْأَعْظَمِ ضَلاَلَةٍ فَإِذَا رَأَيْتُمْ اخْتِلاَفًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ لاَ تَجْتَمِعُ عَلَى
Annas bin Malik berkata mendengar dari Rosulullah SAW, bersabda : sesungguhnya aku tidak akan berkumpul untuk ke sesatan, bila kamu melihat perbedaan pendapat maka ikutilah maka ikutilah mayoritas terbanya jumlahnya. H. R. Ibnu Majah. [13]

Dari hadits di atas, dapat di ambil pemahaman bahwa sekelompok mayoritas yang banyak tidak akan sepakat untuk berbohong, oleh sebab itu tradisi NU selalu mengikuti golongan yang terbanyak dimana NU berada sebab mustahil untuk berbohong.

4.      Mengikuti Ulama.
Kata “ Ulama “ Adalah bentuk jamak. Mufradnya adalah “ alim” artinya orang pandai, ulama mestinya orang-orang pandai, dan semua orang pandai. Artinya setiap keahlian di bidangnya dapat di katakana Ulama, tetapi dalam bahsa Indonesia kata ulama ini memiliki makna yang mufrad, yaitu orang yang pandai dalam hal Agama.[14] Orang NU mempunyai tradisi tersendiri, dan mungkin has yang berbeda denga golongan yang lain, mudah saja menebaknya, orang yang mengikuti fatwa ulama, dan karangan para ulama adalah orang NU, tradisi NU slalu mengikuti para Ulama, kenapa mereka selalu mengikuti para Ulama ? Dalam hal ini, ada pesan Rosulullah kepada kaum muslimin dan muslimat yang hidup di kemudian hari taitu kita sekarang, agar jangan meninggalkan Ulama, supaya dapat ajaran Agama yang benar Allah berfirman :
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (an-Nahl: 43)

Namun kata Ualama ini menjadi polemic yang cukup mencuat ke permukaan,  dengan munculnya aliran-aliran yang mengecam tidak boleh mengikuti para Ulama, mereka mengatakan Bid’ah dan sesat, sebab telah meninggalkan Al-Quran, sasaran yang mereka kecam adalah Madzhab, mereka mengaku anti madzhab, karena madzhab adalah hasil rekayasa para Ulama menurut mereka, Terkadang kelompok yang anti madzhab menggugat kita dengan pendapat sang pendiri madzhab atau para ulama dalam madzhab yang kita ikuti,  Seakan-akan mereka lebih konsisten dari kita dalam bermadzhab. Kaum Wahhabi ketika menggugat kita agar meninggalkan tahlilan dan selamatan tujuh hari selalu beralasan dengan pendapat al-Imam al-Syafi’i yang mengatakan bahwa hadiah pahala bacaan al-Qur’an tidak akan sampai kepada mayit, atau pendapat kitab I’anah al-Thalibin yang melarang acara selamatan tahlilan selama tujuh hari. Kita kadang menjadi bingung menyikapi mereka. Terkadang mereka menggugat kita karena bermadzhab, yang mereka anggap telah meninggalkan al-Qur’an dan Sunnah. Dan terkadang mereka menggugat kita dengan pendapat imam madzhab dan para ulama madzhab. Padahal mereka sering menyuarakan anti madzhab. Pada dasarnya kelompok anti madzhab itu bermadzhab. Hanya saja madzhab mereka berbeda dengan madzhab mayoritas kaum Muslimin. Ketika mereka menyuarakan anti tawassul, maka sebenarnya mereka mengikuti pendapat Ibn Taimiyah dan Ibn Abdil Wahhab al-Najdi. Sedangkan kaum Muslimin yang bertawassul, mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,  para sahabat, seluruh ulama salaf dan ahli hadits. Ketika mereka menyuarakan shalat tarawih 11 raka’at, maka sebenarnya mereka mengikuti pendapat Nashiruddin al-Albani, seorang tukang jam yang beralih profesi menjadi muhaddits tanpa bimbingan seorang guru, dengan belajar secara langsung di perpustakaan. Sedangkan kaum Muslimin yang tarawih 23 raka’at, mengikuti Sayidina Umar, para sahabat dan seluruh ulama salaf yang saleh yang tidak diragukan keilmuannya.
Ketika mereka menyuarakan anti madzhab, maka sebenarnya mereka mengikuti Rasyid Ridha, Muhammad Abduh dan Ibn Abdil Wahhab. Sedangkan kaum Muslimin yang bermadzhab, mengikuti ulama salaf dan seluruh ahli hadits. Demikian pula ketika mereka menyuarakan anti bid’ah hasanah, maka sebenarnya mereka mengikuti madzhab Rasyid Ridha dan Ibn Abdil Wahhab al-Najdi. Sedangkan kaum Muslimin yang berpendapat adanya bid’ah hasanah, mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, Khulafaur Rasyidin, para sahabat, ulama salaf dan ahli hadits. Syaikh Muhammad Rasyid Ridha, termasuk orang pertama yang sangat kencang menyuarakan anti madzhab, dengan menulis karyanya al-Wahdat al-Islamiyyah fi al-Madzahib al-Fiqhiyyah. Akan tetapi, secara terus terang, ia mengikuti pemikiran Syaikh Muhammad Abduh al-Gharabili. Kedua nama ini, Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, serta Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi, pendiri aliran Wahhabi, sebenarnya yang menjadi imam madzhab beberapa aliran dan kelompok keagamaan yang anti madzhab di Indonesia.
Ada dialog menarik untuk dikutip di sini, berkaitan dengan bermadzhab. Yaitu dialog antara Syaikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani al-Syafi’i, seorang ulama besar yang sangat populer, dengan Syaikh Muhammad Rasyid Ridha, seorang ulama Salafi yang menyuarakan anti madzhab.
Dalam mukaddimah kitab al-’Uqud al-Lu’luiyyah fi al-Madaih al-Nabawiyyah, Syaikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani berkata: “Ketika saya berkumpul dengan Syaikh Rasyid Ridha, saya berdialog dengannya tentang pribadi Syaikh Muhammad Abduh, gurunya. Saya berkata: “Kalian menjadikan Syaikh Muhammad Abduh sebagai panutan dalam agama kalian, dan kalian mengajak manusia untuk mengikuti kalian. Ini jelas tidak benar. Syaikh Muhammad Abduh itu bukan orang yang konsisten memelihara kewajiban-kewajiban agama. Ia tidak sah menjadi panutan dalam agama. Sebagaimana dimaklumi dan diakui oleh semua orang, Abduh seringkali  meninggalkan shalat fardhu tanpa ada uzur. Saya sendiri pernah menemaninya dari pagi hari sampai menjelang maghrib, di rumah seorang laki-laki yang mengundang kami di Jabal Lebanon. Abduh tidak shalat zhuhur dan ashar, tanpa ada uzur. Bahkan ia sehat sekali. Dan ia melihat saya shalat zhuhur dan ashar, tetapi ia tidak melakukannya.” Mendengar pernyataan saya, Syaikh Rasyid Ridha mengakui bahwa Abduh memang sering meninggalkan shalat fardhu tanpa ada uzur. Akan tetapi Rasyid Ridha masih membelanya dengan memberikan jawaban: “Barangkali madzhab beliau membolehkan jama’ shalat di rumah (fi al-hadhar).”Saya merasa heran dengan jawaban Rasyid ini. Karena jama’ shalat itu hanya dibolehkan dalam bepergian, ketika turun hujan dan sedang sakit menurut sebagian imam mujtahid, antara zhuhur dan ashar, serta antara maghrib dan isya’, sebagaimana hadits shahih dari Nabi shallallahu alaihi wasallam. Dan tidak seorang pun dari kalangan ulama berpendapat bahwa zhuhur dan ashar boleh dijama’ dengan maghrib dan isya’. Oleh karena itu, kami sulit menerima jawaban Rasyid Ridha.
Saya berkata kepada Syaikh Rasyid Ridha: “Lagi pula Syaikh Muhammad Abduh tidak pernah menunaikan ibadah haji ke baitullah di tanah suci, padahal ia mampu melakukannya. Dengan kemampuan yang ia miliki, berupa kekuatan fisik dan finansial, ia seringkali pergi ke Paris, London dan negara-negara Eropa lainnya. Tidak pernah terlintas dalam benaknya untuk menunaikan ibadah haji, padahal negaranya dekat dengan Makkah. Jadi tidak diragukan lagi, bahwa ia telah memikul dosa yang sangat besar dan meninggalkan salah satu rukun Islam”. Lalu saya berkata kepada Syaikh Rasyid Ridha: “Semua orang sepakat bahwa Syaikh Muhammad Abduh dan gurunya, Syaikh Jamaluddin al-Afghani, masuk dalam organisasi Masoni. Organisasi ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan agama Islam. Bahkan organisasi ini menolak semua agama, anti semua pemerintahan, baik keagamaan maupun yang bukan. Bagaimana mungkin Syaikh Muhammad Abduh menjadi panutan dalam agama Islam, padahal ia seorang Masoni. Demikian pula gurunya.”Mendengar pertanyaan saya, Syaikh Rasyid Ridha menjawab: “Saya kan tidak ikut organisasi Masoni.” Saya berkata: “Seandainya kalian berkata bahwa Syaikh Muhammad Abduh itu seorang filosof Islam, seperti halnya Ibn Sina dan al-Farabi, tentu kami dapat menerima, meskipun kenyataannya tidak demikian. Karena hal itu tidak berdampak negatif pada kami dan agama kami. Adapun ketika ia termasuk orang yang paling fasiq sebab meninggalkan rukun-rukun Islam, lalu kalian berpendapat bahwa ia seorang imam (panutan) dalam agama Islam, tentu hal ini merupakan kemungkaran yang tidak akan diterima oleh orang yang berakal.”Mendengar pernyataan saya, Syaikh Rasyid Ridha berkata: “Kami tidak menganggap Syaikh Muhammad Abduh seperti Ibn Sina. Akan tetapi kami menganggapnya seperti al-Imam al-Ghazali.”
Rasyid Ridha ini memang orang yang sesat dan keras kepala. Ia mengakui kalau Muhammad Abduh itu meninggalkan shalat dan haji serta menjadi anggota Masoni. Tetapi, ia masih menyamakannya dengan al-Imam al-Ghazali. Sebenarnya, setiap orang dari kelompok Wahhabi atau anti madzhab ini, meyakini bahwa dirinya lebih hebat dari pada al-Imam al-Ghazali. Karena kelompok mereka, baik yang besar maupun yang kecil, semuanya mengklaim sebagai mujtahid muthlaq. Sedangkan al-Ghazali sendiri tidak mengklaim sebagai mujtahid muthlaq, sebagaimana beliau jelaskan dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din.
Orang-orang Wahhabi atau anti madzhab itu, masing-masing menganggap dirinya selevel imam madzhab yang empat radhiyallahu anhum. Perasaan ini begitu menancap dalam benak mereka. Nasehat tidak akan mempan bagi mereka. Mereka selalu berusaha agar orang lain mengikuti mereka, menjadi mujtahid muthlaq. Demikian komentar Syaikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani dengan disederhanakan.


[1]  Sebutan untuk kitab karangan para ulama, yang berbahasa arab, yang di karang oler ribuan para ulama, baik dari golongan suni, maupun syia’ah. Yang umumnya berbahasa arab gundul atau tidah berharkat
[2]  sebutan bagi kaum yang mengikuti faham Ahli Sunnah Waljama’ah.
[3]  Lihat tradisi orang-orang NU hlm. 19
[4]  Al-Warrokot, imam Al-Bajuri.
[5]  kitab Al Mizan Al Sya’rani Fatawi Kubra dan Nihayatussul
[6]  Sullam al-Usul Syarh Nihayati al-Usu’ul, juz iv
[7]  Ahkamul Fuqaha : Solusi Problematika Aktual Hukum Islam
[8]  Syarat mujtahid :1.  mengetahui nash-nash Al-Qur’an yang berkaitan dengan syari’at, 2. Mengetahui hadits-hadits dan hukum, 3.     Mengetahui nasikh dan mansyukh Al-Qur’an dan Hadits, 4. Mengetahui masalah-masalah ijma, 5. Mengetahui wajah-wajah Qiyas dan syarat-syaratnya,  Illat hukum, cara Istitinbath dari nash
6. Mengetahui Ilmu Bahasa Arab dan cabang-cabangnya, seperti ; Ilmu Nahwu, Sharaf, Ma’ani, Bayan,
7. alim dalam ilmu ushul fiqh, 8. Mengetahui Maqashid Syariat dalam mengistinbath hukum.
[9]   Syekh Nawawi Al- Bantany, Safinatunnajat, hlm. 2
[10]  dalam hadits  ke 22 dari kitab al-Arbain Nawawy
[11]  Hamisy I’ anat at-Thalibin,
[12]  Sullam al-Usul Syarh Nihayati al-Usu’ul, juz iv
[13]  Ahkam al-Fuqaha, 1, hlm. 6
[14]  Lihat tradisi orang-orang NU hlm17.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar