ABSTRAK
Artikel ini di susun untuk membahas tradisi-tradisi atau landasan orang-orang
NU yang kaya akan tradisinya, sehingga kalau kita membahas NU memang
mengasyikan. Pasalnya, tingkah lakunya kadang-kadang di pandang aneh sebagian
orang, mungkin saja karena mereka orang-orang yang menganggap aneh itu belum
menganal banyak ritual itu dalam lingkunganya, maka penulis disini akan
membahas sebagian tradisi orang NU yang begitu signifikan, atau di sebut juga
landasan-landasan orang-orang NU di antaranya hukum bermadzhab, mengikuti Sahabat Nabi, mengikuti mayoritas dan
mengikuti Ulama. Penulis disi akan membahas satu persatu tentang istilah di
atas dengan beberapa dalil yang di pakai orang-orang NU. Sebagai contoh,
mungkin ketika anda bertanya kepada orang NU yang sedang melakukan tradisi
berziarah, “ kok bisa melakukan begitu ? ” tentu jawabnya “ larena aku cinta “
adakah engkaeu berdoa kepadanya ? tidak, aku hanya berdoa kepada Allah, aku
hanya tawwasul kepadanya, dan kalau berbicara tawwasul mungkin panjang, dan itu
yang sangat di sukai orang N, walaupun sebagian orang mengharamkanya. Namun
penulis disini tidak akan membahas tentang itu, tapi akan mebahas tentang
landasan-landasan orang NU yang telah di sebutkan di atas. Sebab semua golongan
mempunyai landasan dan dalil tersendiri, namun tidak di anjurkan untuk saling
bantah membantah, sebab yang di utamakan orang NU adalah persatuan dan
kesatuan,
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Orang-orang
yang berpegang pada ” kitab kuning“ [1] sebenarnya mudah di tebak, mereka
adalah orang-orang NU, orang yang ikut serta dan ikut andil dalam perkumpulan
Nahdhatul Ulama, dan secara jujur penulis katakana, Organisasi ini merupakan
hasil daya cipta para ulama terdahulu yang mempunyai pemikiran maju di
zamannya, jika di lihat dari namanya yang berarti kebangkitan para ulama, kata
ulama bentuk jamak dadi alim, yang artinya orang pintar, cendikiawan.
Hanya kata ulama ini di tempatkan dalam ranah keagamaan, yang berarti seorang
yang pandai dalam hal agama. Padahal NU itu kalau di ibaratkan sebagai
segerbong kreta raksasa, yang di dalamnya terdapat berbagai macam penumpang,
ada seorang guru, petani, pelayan lestoran, tukang buruh, dokter, seniman,
artis, penyanyi, ulama, kiyai, santri dan lain sebagainya, semuanya bias
masuk dalam wadah yang di namakan NU. Sebab sudah jelas NU mengatakan “ asasku
adalah islam ahlussunah wal jamaah “ mengikuti satu dari empat madzhab, yaitu
Maliki, Hanafi, Syafi’I, dan Hanbali.
Lalu
timbul pertanyaan dari seorang anak sekolahan yang fanatik yang bertamu kepada
seorang kiyai kampung sambil bertanya sebuah permasalah, kemudian kiyai itu
menjawab dengan sebuah referensi dari kitab kuning, si anak yang sok itu
bertanya “ ko referensinya dari kitab kuning ? “ dengan tenang kiyai itu
menjawab “ adakal kitab kuning yang keluar dari Al-Qur’an dan Assunah ?
dengan rasa malu anak sekolahan itu mukanya merah penuh dengan rasa malu,
tak satukatapun yang keluar, bahwa kitab kuning itu menyimpang dari Al-Qur’an
dan Assunah.
B.
Tujuan
Artikel ini di susun, untuk memantafkan keyakinan Kaum
muslimin di manapun, khususnya Golongan suni sendiri,[2] pada umumnya mengakui madzhab
yang empat, yang oleh mereka di jadikan sebagai panutan, yang di ikuti setiap
pemikiran yang berlian yang di curahkan oleh mereka, empat ulama tersebut
menjadi cara berfikir penganutnya dalam memahami Al-Quran dan Hadits Nabi, dan
kemudian membingbing mereka dalam beribadah, sehingga tidak keliru, dan tidak
berfanatik, apalagi membuat golongan minoritas, yang memisahkan diri dari
golongan mayoritas, sehingga akan menimbulkan perpecahan di kalangan umat
islam. Berangkat dari sinilah ulama NU dengan berfikir cemerlang, ingin
menyatukan umat islam dalam satu wadah yang kokoh yang akhirnya didirikanlah
Nahdhatul Ulama, di bawah bendera Ahlusunnah Waljama’ah, disisilain sekelompok
minoritas tidak mau mengikuti golongan raksasa ini, dan mereka secara diam-diam
melengkapi keilmuan mereka dengan kitab kuning yang di karang jutaan para ulama
ahlusunnah, yang berada di barisan ulama yang empat.
A.
PEMBAHASAN
Sudah di
katakana bahwa NU itu adalah organisasi keagamaan yang berbenderakan Ahlussunah
Waljama’ah, yang di maksud Ahlussunah Waljama’ah adalah golongan orang yang
ibadah dan tingkah lakunya selalu berdasakan Al-Qur’an dan Al-Hadits,
sementrara pengambilan hukum islamnya mengikuti mayoritas ilmu fiqh, adapun di
antara tradisi orang-orang NU yang signifikan adalah sebagai berikut
1.
Hukum Bermadzhab
Bermadzhab
artinya mengikuti salah satu madzhab.“Madzhab”itu sendiri artinya aliran/jalan,
Bagi orang NU hukum bermadzhab adalah wajib hukumnya,[3] Mengenai keberadaan negara
kita di indonesia ini adalah bermadzhabkan syafii, demikian Guru-Guru kita dan
Guru Guru mereka, Sanad Guru mereka jelas hingga Imam syafii, dan sanad mereka
muttashil hingga Imam Bukhari, bahkan hingga Rasulullah saw, bukan
orang orang masa kini yg mengambil ilmu dari buku terjemahan lalu berfatwa
untuk memi Seyogianya, bahwa kita mesti menyesuaikan dengan keadaan, bila kita
di makkah misalnya, maka madzhab disana kebanyakan hanafi, dan di Madinah
madzhab kebanyakannya adalah Maliki, selayaknya kita mengikuti madzhab
setempat, Agar tak menjadi Fitnah dan dianggap lain sendiri
Beda
dengan sebagian muslimin masa kini yg selalu mencari yang aneh dan beda,
tak mau ikut jamaah dan cenderung memisahkan diri agar dianggap lebih alim dari
yang lain. Hal ini adalah dari ketidak fahaman melihat situasi suatu tempat dan
kondisi masyarakat. Memang tak ada perintah wajib bermadzhab secara shariih.
Namun bermadzhab wajib hukumnya, karena Qaidah Syariah adalah Maa Yatimmul
waajib illa bihi fahuwa wajib [4] .
yaitu apa-apa yg mesti ada sebagai perantara untuk mencapai hal yg wajib, menjadi wajib hukumnya.
yaitu apa-apa yg mesti ada sebagai perantara untuk mencapai hal yg wajib, menjadi wajib hukumnya.
Misalnya,
kita membeli Air tentunya hukumnya adalah Mubah, namun kalau kita akan shalat
fardzu, tapi air tidak ada dan yang ada hanyalah air yang harus di beli, maka
hukum membeli air berubah hukumnya menjadi wajib. Demikian pula dalam syariah
ini, tak wajib mengikuti madzhab, namun karena kita tak mengetahui samudra
syariah seluruh madzhab, atau tak sanggup untuk menggali seluruh isi Al-Quran
dan Assunah, dan kita hidup setelah 14 abad yang lalu setelah wafatnya Nabi,
maka kita tak mengenal hukum ibadah, kecuali menelusuri fatwa imam-imam
muhadits terdahulu, maka bermadzhab menjadi wajib hukumnya, dan berpindah
madzhab boleh-boleh saja, bila sesuai dengan situasinya, misalnya seorang
pindah ke madinah, tak sepantasnya ia bersikeras bermadzhab syafii, dan
begitupun sebaliknya. Kenapa kita di wajibkan mengikuti madzhab ? sebab kita
belum mampu mengupas lautan syariah yang begitu luas dan dalam, hanya orang
cerdas dan berilmu tinggi yang bloeh mengupas sendiri Al-Quran dan Hadits yang
bias di pertanggung jawabkan, sebagaimana dalil ke satu.
كان سيدي علي الخواص رحمه الله إﺫسأله
انسان عن التقيد بمﺬهب معين الآن . هل هو واجب أولا . يقول له يجب عليك التقيد
بمﺬهب مادمت لم تصل إلى شهود عين الشريعة الأولى خوفا من الوقوع فى الضلال وعليه
عمل الناس اليوم (الميزان الشعراني)
Jika tuanku yang mulia Ali Al Khawash r.h. ditanya oleh
seorang tentang mengikuti madzhab tertentu sekarang ini, apakah wajib atau
tidak? Beliau berkata : ”Anda harus mengikuti suatu madzhab selama Anda belum
sampai mengetahui inti agama, karena khawatir terjatuh pada kesesatan”. Dan ia
harus melaksanakan apa yang dilaksanakan oleh orang lain sekarang ini.[5]
Dalil kedua :
قال صلى الله عليه وسلم "اتبعوا السواد الأعظم" .
ولما اندرست المﺬاهب الحقة بانقراض . أئمتها إلا المﺬهب الأربعة التى انتشرت
أتباعها كان أتباعها أتباعا للسواد الأعظم والخرج عنها خروجا عن السواد الأعظم
(سلم الأصول شرح نهاية ؛ الجزء الربع)
Nabi SAW bersabda : ”Ikutilah mayoritas (umat Islam)”. Dan
ketika madzhab-madzhab yang benar telah tiada, dengan wafatnya para imamnya,
kecuali 4 (empat) madzhab yang mengikutinya tersebar luas, maka mengikuti
madzhab empat tersebut berarti mengikuti mayoritas, dan keluar dari madzhab
empat tersebut berarti keluar dari mayoritas.[6].
Madzhab
yang tersohor dan aliran madzhabnya telah dikodifisikan digolongkan menjadi 4
(empat) madzhab. Empat madzhab tersebut adalah :
1.
Madzhab Hanafi, yaitu madzhab yang
dinisbahkan kepada Imamnya, yakni Imam Abu Hanifah Al Nu’man bin Tsabit, beliau
lahir di kota Kuffah pada tahun 80 Hijriyah dan meninggal dunia pada tahun 150
Hijriyah dan madzhab hanafi sebenarnya kumpulan serta pendapat Imam Abu Hanifah
Al Nu’man bin Tsabit beserta murid-muridnya serta pendapat-pendapat yang
berasal dari para pengganti mereka sebagai perincian dan perluasan pemikiran
yang telah digariskan oleh mereka yang kesemuanya adalah hasil dari pada cara
dan metode ijtihad ulama-ulama Irak. Maka disebut juga, mazhab Ahlur
Ra’yi masa Tsabi’it Tabi’in. Abu Hanifah adalah seorang mujtahid yang ahli
ibadah. Dalam bidang fiqh beliau belajar kepada Hammad bin Abu Sulaiman pada
awal abad kedua hijriah dan banyak belajar pada ulama-ulama tabi’in, seperti
Atha bin Abi Rabah dan Nafi’ Maula Ibnu Umar.
2. Madzhab Maliki, yaitu kumpulan
pendapat-pendapat yang berasal dari Imam Malik dan para penerusnya di masa
sesudah beliau meninggal dunia. Pendiri madzhab Maliki adalah Imam Malik bin
Anas bin Malik, beliau lahir di kota Madinah Al Munawarah pada tahun 90
Hijriyah dan beliau meninggal dunia pada tahun 179 Hijriyah. Imam Malik belajar
pada ulama-ulama Madinah, yang menjadi guru pertamanya ialah Abdur Rahman bin
Hurmuz. Beliau juga belajar kepada Nafi’ Maula Ibnu Umar dan Ibnu Syihab Az
Zuhri. Adapun yang menjadi gurunya dalam bidang fiqh ialah Rabi’ah bin Abdur
Rahman. Imam Malik adalah imam negeri Hijaz, bahkan tokohnya semua bidang fiqh
dan hadits.
3. Madzhab Syafi’i, yaitu madzhab Imam
Abu Abdillah bin Idris bin Syafi’i, beliau lahir di kota Gazza pada tahun 150
Hijriyah dan beliau meninggal dunia pada tahun 204 Hijriyah. Guru Imam Syafi’i
yang pertama ialah Muslim bin Khalid, seorang Mufti di Mekah. Imam Syafi’i
sanggup hafal Al Qur-an pada usia sembilan tahun. Setelah beliau hafal Al
Qur-an barulah mempelajari bahasa dan syi’ir ; kemudian beliau mempelajari
hadits dan fiqh.
Mazhab
Syafi’i terdiri dari dua macam ; berdasarkan atas masa dan tempat beliau mukim.
Yang pertama ialah Qaul Qadim; yaitu mazhab yang dibentuk sewaktu hidup di
Irak. Dan yang kedua ialah Qul Jadid; yaitu mazhab yang dibentuk sewaktu beliau
hidup di Mesir pindah dari Irak
4. Madzhab Hambali, yaitu madzhab Imam
Ahmad bin Hambal, lahir di Marwaz pada tahun 164 Hijriyah dan beliau meninggal
dunia pada tahun 241 Hijriyah. Imam Ahmad bin Hambal adalah seorang imam yang
banyak berkunjung ke berbagai negara untuk mencari ilmu pengetahuan, antara
lain : Siria, Hijaz, Yaman, Kufah dan Basrah. Dan beliau menghimpun 40.000 hadist
dalam kitab Musnadnya[7]. Dari sini, dapat kita simpulkan bahwa hukum
bermadzhab adalah wajib bagi orang yang tidak mengerti dan belum sampai
terhadap persyaratan seorang mujtahid[8]. Maka hukum bermadzhab adalah
wajib .
2. Mengikuti
sahabat Nabi
Dalam masalah Agama, yang di sebut sahabat adalah, orang
muslim yang hidup pada zaman Rosulullah, pernah melihat ataupun tidak, dalam
waktu lama ataupun sebentar saja. Sahabat adalah sebutan yang di berikan Nabi
untuk kaum muslimin pada zamanya. [9]
Mereka
semua adalah orang-orang yang beruntung, sebab bisa hidup pada zamanya, dan
bisa menerima ajaran agama langsung dari beliau, dan pasti amalan merekapun
masih asli belum ada yang merubah, tak ada pada zaman tersebut niat untuk
merubah atau mereka yasa, berkenaan dengan sahabat itu begitu dekatnya dengan
nabi, maka rosulpun berpesan kepada kaum muslimin dan muslimat, agar mengikuti
amalan para sahabat, makanya nabi selalu menekankan agar mengikuti para sahabat
nabi tersebut, oleh karena itu NU selalu berlandaskan kepada para sahabat,
sebagaimana keterangan :
Dalil pertama hadits nabi :
Rasulallah pernah bersabda : Aku berpesan kepadamu, Hai kaum
muslimin, hendaknya kalian selalu bertaqwa dan taat kepada Allah, meski yang
memerintah itu seorang hamba sahaya. Sebab pada kehidupan kalian suatu hari
nanti akan mengalami berbagai perbedaan (konflik). Maka tetaplah kalian pada
sunnahku (jalan/jejak) dan jejak para Khulafa'ur Rasyidin yang mendapatkan
hidayah Allah (HR Abu Dawud dan At Tirmidzi, hadits hasan shohih)[10]
Dari hadits di atas jelas, bahwa
kita harus mengikuti para sahabat Nabi, yaitu dengan mengikuti hadits-hadits
yang di riwayatkan mereka, sekaligus mentaati fatwa-fatwa mereka, namun bukan
berarti kita harus selamanya mengikuti hadits nabi tetapi meninggalkan fatwa
ulama, sebab ada hukum yang mungkin kurang sesuai dengan hadits napi pada jaman
sekarang, orang-orang jaman sekarang maunya memisahkan diri, merasa sok alim,
padahal ilmu mereka belum memunpuni dalam soal membedah keilmuan sariyah,
sehingga mereka menyeleweng dan mengakibatkan fanatic terhadap golongan lain,
namun seandainya seseorang benar-benar mampu menjadi seorang mujtahid, maka
taklid kepada orang hukunya haram, wajib menentukan hukum sendiri, sebagaimana
Imam Abu Hanifah pernah berkata :”Haram bagi seseorang mengemukakan pendapat
kami, sampai dia mengetahui dari mana kami mengambilnya” dari perkataan imam
tadi, bisa di simpulkan, bahwa mengikuti imam yang empat haram hukumnya bagi
orang yang sudah mampu mengungkapkan dali-dalil yang sedalam-dalamnya dari
Al-Qur’an dan assunah, namun sebaliknya bagi orang yang belum mampu melakukan
itu, dan ilmunya masih di ragukan, maka wajib mengikuti imam yang empat. Karena
imam yang empat merupakan perwujudan dari sekian banya para sahabat Rosulullah,
di tampung di diri empat orang, yaitu imam yang empat,
Karena itulah, salah satu muridnya
Imam syafi’I yang bernama Yunus bin Abil A’la Ash Shadafi dalam satu majelis
pernah ditanya tentang satu masalah. Maka dia menjawabnya dengan hadits
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu ada yang bertanya : ”Apa
pendapat Imam Syafi’i dalam masalah tersebut?” Beliau menjawab: ”Madzhab Imam
Syafi’i ialah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena saya
pernah mendengar beliau berkata : ”Jika ada hadits shahih, maka itulah
madzhabku”.Demikian juga para sahabt nabi yang wajib kita ikuti, sebab mereka
pernah hidup pada zaman nabi, dan menerima ajaran secara langsung dari Nabi
Muhamad SAW.
3. Mengikuti
Mayoritas
Di
antara tradisi orang NU itu adalah suka mengikuti mayoritas, golongan yang
paling banyak, dan mungkin sudah barang tentu seyogianya kepada setiap mukmin
memperhatikan golongan mayoritas di negrinya. Sebab sudah tentu aqidah yang
benar itu adalah Ahlussunah Waljamaah,. Orang islam tidak boleh menyendiri,
dalam artian dia memisahkan diri dari golongan mayoritas itu, sebab akan
menimbulkan perpecahan, Karena perpecahan lah yang di inginkan oleh faham-faham
yang sesat, seperti faham wahabi kaki tanganya Israel, mereka menginginkan kita
pecah belah sehingga kekuatan kita melemah, kalau sudah lemah tidak akan jauh
nasib kita dengan palestina dan Negara lain yang berhasil mereka hancur
leburkan.
Oleh sebab itu prinsif yang di
pegang oleh orang NU adalah ukhuwah islamiyah, persatuan dan kesatuan, menjauhi
sifat fanatic antar golongan, adapun perbedaan dalam hal agama itu merupakan
anugrah, jangan di permasalahkan, jangankan perbedaan antar golongan,
dalam satu madzhabpun kerap sekali ada perbedaan, sebagai contoh penulis
menyajikan sebuah permasalahan dalam sholat jum’at, dalam madzhab safi’iyahpun
ada perbedaan, dalam madzhab safi’iyah sholat jum’at itu syah apabila 40
orang yang sudah baligh dan mukim, namun ulama syafi’iyah sendiri ada yang
membolehkan empat jamaa’h juga syah, seperti yang di tokohi oleh Imam Muzan,
hal ini berdasarkan qaul qodim, kaul safii yang pertama,[11] tapi mereka tidak
mempermasalahkan masalah itu, yang haris di permasalahkan adalah orang yang
tidak melakukan sholat jum’at, sepert halnya zaman sekarang, semua orang sibuk
dengan gosif Aa gym poligami, padahal poligami di bolehkan agama, tapi artis-artis
yang kumpul kebo kita diam saja, inilah penyakit bangsa kita yang harus di
buang jauh-jauh, intinya kita harus mengedepankan persatuan, dan mayoritas di
Negara kita adalah Ahlussunah Wal jamaah, maka wajib mengikutinya, sebagaimana
hadits rosul tadi : قال صلى الله
عليه وسلم "اتبعوا السواد
الأعظم
Nabi SAW bersabda : ”Ikutilah mayoritas (umat Islam)”[12]
Dalil kedua :
أَنَسُ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ سَمِعْتُ
رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ أُمَّتِي
الْأَعْظَمِ ضَلاَلَةٍ فَإِذَا
رَأَيْتُمْ اخْتِلاَفًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ لاَ تَجْتَمِعُ عَلَى
Annas
bin Malik berkata mendengar dari Rosulullah SAW, bersabda : sesungguhnya aku
tidak akan berkumpul untuk ke sesatan, bila kamu melihat perbedaan pendapat
maka ikutilah maka ikutilah mayoritas terbanya jumlahnya. H. R. Ibnu Majah. [13]
Dari
hadits di atas, dapat di ambil pemahaman bahwa sekelompok mayoritas yang banyak
tidak akan sepakat untuk berbohong, oleh sebab itu tradisi NU selalu mengikuti
golongan yang terbanyak dimana NU berada sebab mustahil untuk berbohong.
4. Mengikuti
Ulama.
Kata “
Ulama “ Adalah bentuk jamak. Mufradnya adalah “ alim” artinya orang pandai,
ulama mestinya orang-orang pandai, dan semua orang pandai. Artinya setiap
keahlian di bidangnya dapat di katakana Ulama, tetapi dalam bahsa Indonesia
kata ulama ini memiliki makna yang mufrad, yaitu orang yang pandai dalam hal
Agama.[14]
Orang NU mempunyai tradisi tersendiri, dan mungkin has yang berbeda denga
golongan yang lain, mudah saja menebaknya, orang yang mengikuti fatwa ulama,
dan karangan para ulama adalah orang NU, tradisi NU slalu mengikuti para Ulama,
kenapa mereka selalu mengikuti para Ulama ? Dalam hal ini, ada pesan Rosulullah
kepada kaum muslimin dan muslimat yang hidup di kemudian hari taitu kita
sekarang, agar jangan meninggalkan Ulama, supaya dapat ajaran Agama yang benar
Allah berfirman :
“Maka bertanyalah kepada orang yang
mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (an-Nahl: 43)
Namun kata Ualama ini menjadi polemic yang cukup mencuat ke
permukaan, dengan munculnya aliran-aliran yang mengecam tidak boleh
mengikuti para Ulama, mereka mengatakan Bid’ah dan sesat, sebab telah
meninggalkan Al-Quran, sasaran yang mereka kecam adalah Madzhab, mereka mengaku
anti madzhab, karena madzhab adalah hasil rekayasa para Ulama menurut mereka, Terkadang kelompok yang
anti madzhab menggugat kita dengan pendapat sang pendiri madzhab atau para
ulama dalam madzhab yang kita ikuti, Seakan-akan mereka lebih konsisten
dari kita dalam bermadzhab. Kaum Wahhabi ketika menggugat kita agar
meninggalkan tahlilan dan selamatan tujuh hari selalu beralasan dengan pendapat
al-Imam al-Syafi’i yang mengatakan bahwa hadiah pahala bacaan al-Qur’an tidak
akan sampai kepada mayit, atau pendapat kitab I’anah al-Thalibin yang melarang
acara selamatan tahlilan selama tujuh hari. Kita kadang menjadi bingung
menyikapi mereka. Terkadang mereka menggugat kita karena bermadzhab, yang
mereka anggap telah meninggalkan al-Qur’an dan Sunnah. Dan terkadang mereka
menggugat kita dengan pendapat imam madzhab dan para ulama madzhab. Padahal
mereka sering menyuarakan anti madzhab. Pada dasarnya kelompok anti madzhab itu
bermadzhab. Hanya saja madzhab mereka berbeda dengan madzhab mayoritas kaum
Muslimin. Ketika mereka menyuarakan anti tawassul, maka sebenarnya mereka
mengikuti pendapat Ibn Taimiyah dan Ibn Abdil Wahhab al-Najdi. Sedangkan kaum
Muslimin yang bertawassul, mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,
para sahabat, seluruh ulama salaf dan ahli hadits. Ketika mereka
menyuarakan shalat tarawih 11 raka’at, maka sebenarnya mereka mengikuti
pendapat Nashiruddin al-Albani, seorang tukang jam yang beralih profesi menjadi
muhaddits tanpa bimbingan seorang guru, dengan belajar secara langsung di
perpustakaan. Sedangkan kaum Muslimin yang tarawih 23 raka’at, mengikuti
Sayidina Umar, para sahabat dan seluruh ulama salaf yang saleh yang tidak
diragukan keilmuannya.
Ketika mereka
menyuarakan anti madzhab, maka sebenarnya mereka mengikuti Rasyid Ridha,
Muhammad Abduh dan Ibn Abdil Wahhab. Sedangkan kaum Muslimin yang bermadzhab,
mengikuti ulama salaf dan seluruh ahli hadits. Demikian pula ketika mereka
menyuarakan anti bid’ah hasanah, maka sebenarnya mereka mengikuti madzhab
Rasyid Ridha dan Ibn Abdil Wahhab al-Najdi. Sedangkan kaum Muslimin yang
berpendapat adanya bid’ah hasanah, mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam, Khulafaur Rasyidin, para sahabat, ulama salaf dan ahli hadits. Syaikh
Muhammad Rasyid Ridha, termasuk orang pertama yang sangat kencang menyuarakan
anti madzhab, dengan menulis karyanya al-Wahdat al-Islamiyyah fi al-Madzahib
al-Fiqhiyyah. Akan tetapi, secara terus terang, ia mengikuti pemikiran Syaikh Muhammad
Abduh al-Gharabili. Kedua nama ini, Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, serta
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi, pendiri aliran Wahhabi, sebenarnya
yang menjadi imam madzhab beberapa aliran dan kelompok keagamaan yang anti
madzhab di Indonesia.
Ada dialog menarik untuk
dikutip di sini, berkaitan dengan bermadzhab. Yaitu dialog antara Syaikh Yusuf
bin Ismail al-Nabhani al-Syafi’i, seorang ulama besar yang sangat populer,
dengan Syaikh Muhammad Rasyid Ridha, seorang ulama Salafi yang menyuarakan anti
madzhab.
Dalam mukaddimah kitab al-’Uqud al-Lu’luiyyah fi
al-Madaih al-Nabawiyyah, Syaikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani berkata: “Ketika
saya berkumpul dengan Syaikh Rasyid Ridha, saya berdialog dengannya tentang
pribadi Syaikh Muhammad Abduh, gurunya. Saya berkata: “Kalian menjadikan Syaikh
Muhammad Abduh sebagai panutan dalam agama kalian, dan kalian mengajak manusia
untuk mengikuti kalian. Ini jelas tidak benar. Syaikh Muhammad Abduh itu bukan
orang yang konsisten memelihara kewajiban-kewajiban agama. Ia tidak sah menjadi
panutan dalam agama. Sebagaimana dimaklumi dan diakui oleh semua orang, Abduh
seringkali meninggalkan shalat fardhu tanpa ada uzur. Saya sendiri pernah
menemaninya dari pagi hari sampai menjelang maghrib, di rumah seorang laki-laki
yang mengundang kami di Jabal Lebanon. Abduh tidak shalat zhuhur dan ashar,
tanpa ada uzur. Bahkan ia sehat sekali. Dan ia melihat saya shalat zhuhur dan
ashar, tetapi ia tidak melakukannya.” Mendengar pernyataan saya, Syaikh Rasyid
Ridha mengakui bahwa Abduh memang sering meninggalkan shalat fardhu tanpa ada
uzur. Akan tetapi Rasyid Ridha masih membelanya dengan memberikan jawaban:
“Barangkali madzhab beliau membolehkan jama’ shalat di rumah (fi
al-hadhar).”Saya merasa heran dengan jawaban Rasyid ini. Karena jama’ shalat
itu hanya dibolehkan dalam bepergian, ketika turun hujan dan sedang sakit
menurut sebagian imam mujtahid, antara zhuhur dan ashar, serta antara maghrib
dan isya’, sebagaimana hadits shahih dari Nabi shallallahu alaihi wasallam. Dan
tidak seorang pun dari kalangan ulama berpendapat bahwa zhuhur dan ashar boleh
dijama’ dengan maghrib dan isya’. Oleh karena itu, kami sulit menerima jawaban
Rasyid Ridha.
Saya berkata kepada
Syaikh Rasyid Ridha: “Lagi pula Syaikh Muhammad Abduh tidak pernah menunaikan
ibadah haji ke baitullah di tanah suci, padahal ia mampu melakukannya. Dengan
kemampuan yang ia miliki, berupa kekuatan fisik dan finansial, ia seringkali
pergi ke Paris, London dan negara-negara Eropa lainnya. Tidak pernah terlintas
dalam benaknya untuk menunaikan ibadah haji, padahal negaranya dekat dengan
Makkah. Jadi tidak diragukan lagi, bahwa ia telah memikul dosa yang sangat
besar dan meninggalkan salah satu rukun Islam”. Lalu saya berkata kepada Syaikh
Rasyid Ridha: “Semua orang sepakat bahwa Syaikh Muhammad Abduh dan gurunya,
Syaikh Jamaluddin al-Afghani, masuk dalam organisasi Masoni. Organisasi ini
tidak ada kaitannya sama sekali dengan agama Islam. Bahkan organisasi ini
menolak semua agama, anti semua pemerintahan, baik keagamaan maupun yang bukan.
Bagaimana mungkin Syaikh Muhammad Abduh menjadi panutan dalam agama Islam,
padahal ia seorang Masoni. Demikian pula gurunya.”Mendengar pertanyaan saya,
Syaikh Rasyid Ridha menjawab: “Saya kan tidak ikut organisasi Masoni.” Saya
berkata: “Seandainya kalian berkata bahwa Syaikh Muhammad Abduh itu seorang
filosof Islam, seperti halnya Ibn Sina dan al-Farabi, tentu kami dapat
menerima, meskipun kenyataannya tidak demikian. Karena hal itu tidak berdampak
negatif pada kami dan agama kami. Adapun ketika ia termasuk orang yang paling
fasiq sebab meninggalkan rukun-rukun Islam, lalu kalian berpendapat bahwa ia
seorang imam (panutan) dalam agama Islam, tentu hal ini merupakan kemungkaran
yang tidak akan diterima oleh orang yang berakal.”Mendengar pernyataan saya,
Syaikh Rasyid Ridha berkata: “Kami tidak menganggap Syaikh Muhammad Abduh
seperti Ibn Sina. Akan tetapi kami menganggapnya seperti al-Imam al-Ghazali.”
Rasyid Ridha ini memang
orang yang sesat dan keras kepala. Ia mengakui kalau Muhammad Abduh itu meninggalkan
shalat dan haji serta menjadi anggota Masoni. Tetapi, ia masih menyamakannya
dengan al-Imam al-Ghazali. Sebenarnya, setiap orang dari kelompok Wahhabi atau
anti madzhab ini, meyakini bahwa dirinya lebih hebat dari pada al-Imam
al-Ghazali. Karena kelompok mereka, baik yang besar maupun yang kecil, semuanya
mengklaim sebagai mujtahid muthlaq. Sedangkan al-Ghazali sendiri tidak
mengklaim sebagai mujtahid muthlaq, sebagaimana beliau jelaskan dalam Ihya’
‘Ulum al-Din.
Orang-orang Wahhabi atau
anti madzhab itu, masing-masing menganggap dirinya selevel imam madzhab yang
empat radhiyallahu anhum. Perasaan ini begitu menancap dalam benak mereka.
Nasehat tidak akan mempan bagi mereka. Mereka selalu berusaha agar orang lain
mengikuti mereka, menjadi mujtahid muthlaq. Demikian komentar Syaikh Yusuf bin
Ismail al-Nabhani dengan disederhanakan.
[1] Sebutan untuk kitab
karangan para ulama, yang berbahasa arab, yang di karang oler ribuan para
ulama, baik dari golongan suni, maupun syia’ah. Yang umumnya berbahasa arab
gundul atau tidah berharkat
[2] sebutan bagi kaum yang mengikuti faham Ahli Sunnah Waljama’ah.
[3] Lihat tradisi
orang-orang NU hlm. 19
[4] Al-Warrokot, imam
Al-Bajuri.
[5] kitab Al Mizan Al
Sya’rani Fatawi Kubra dan Nihayatussul
[6] Sullam al-Usul
Syarh Nihayati al-Usu’ul, juz iv
[7] Ahkamul Fuqaha : Solusi Problematika Aktual
Hukum Islam
[8] Syarat mujtahid :1. mengetahui nash-nash Al-Qur’an
yang berkaitan dengan syari’at, 2. Mengetahui hadits-hadits dan hukum,
3. Mengetahui nasikh dan mansyukh Al-Qur’an dan Hadits,
4. Mengetahui masalah-masalah ijma, 5. Mengetahui wajah-wajah Qiyas dan
syarat-syaratnya, Illat hukum, cara Istitinbath dari nash
6. Mengetahui
Ilmu Bahasa Arab dan cabang-cabangnya, seperti ; Ilmu Nahwu, Sharaf, Ma’ani,
Bayan,
7. alim dalam ilmu ushul fiqh, 8.
Mengetahui Maqashid Syariat dalam mengistinbath hukum.
[9] Syekh Nawawi
Al- Bantany, Safinatunnajat, hlm. 2
[10] dalam hadits
ke 22 dari kitab al-Arbain Nawawy
[11] Hamisy I’
anat at-Thalibin,
[12] Sullam
al-Usul Syarh Nihayati al-Usu’ul, juz iv
[13] Ahkam
al-Fuqaha, 1, hlm. 6
[14] Lihat
tradisi orang-orang NU hlm17.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar